Sabtu, 16 Maret 2013

Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka di Indonesia

Aktualisasi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka di Indonesia


Pancasila sebagai ideologi terbuka, sangat mungkin mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang  dihadapi oleh bangsa Indonesia. Namun demikian faktor manusia baik penguasa maupun rakyatnya, sangat menentukan dalam mengukur kemampuan sebuah ideologi dalam menyekesaikan berbagai masalah. Sebaik apapun sebuah ideologi tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang baik, hanyalah utopia atau angan-angan belaka.
Implementasi ideologi Pancasila bersifat fleksibel dan interaktif (bukan doktriner). Hal ini karena ditunjang oleh eksistensi ideologi Pancasila yang  memang semenjak digulirkan oleh para founding fathers (pendiri negara) telah melalui pemikiran-pemikiran yang  mendalam sebagai kristalisasi yang  digali dari nilai-nilai sosial-budaya bangsa Indonesia sendiri. Fleksibelitas ideologi Pancasila, karena mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
1) Nilai Dasar
Merupakan nilai-nilai  dasar yang  relatif tetap (tidak berubah) yang  terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai dasar Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial), akan dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai instrumental dan nilai praxis yang  lebih bersifat fleksibel, dalam bentuk norma-norma yang  berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2) Nilai Instrumental
Merupakan nilai-nilai lebih lanjut dari nilai-nilai dasar yang  dijabarkan secara lebih kreatif dan dinamis dalam bentuk UUD 1945, TAP MPR, dan Peraturan perundang-undangan lainnya.
3) Nilai Praxis
Merupakan nilai-nilai yang  sesungguhnya dilaksanakan dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Nilai praxis yang  abstrak (misalnya : menghormati, kerja sama, kerukunan, dan sebagainya), diwujudkan dalam bentuk sikap, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari. Dengan de mikian nilai-nilai tersebut nampak nyata dan dapat kita rasakan bersama.
Namun dalam kenyataannya Indonesia sangat sulit menerapkan prinsip ideology pancasila tersebut,dimana pancasila sendiri belumlah dipahami secara mendalam sehingga menyulitkan penerapan penggunaan pancasila dalam penyelesaian permasalahan modern ini. Dimulai dengan kegagalan penerapan pancasila dalam orde baru yang menjadikan pancasila sebagai mesin indoktrinasi politik,dimana Pancasila sudah dianggap apak-basi. Dimana kelima sila tersebut dianggap tidak relevan dalam meyelesaiakn permasalahan era ini,tidak dihayati,bahkan banyak yang tidak menghafal atau mengingat Pancasila itu sendiri.
Sebagai contohnya adalah sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimana permaknaan mendalam dari sila pertama tersebut adalah dimana saling menghargainya sesame pemeluk agama yang berbeda,saling menghormati dan tidak saling memaksakan kepercayaan akan Tuhan kita kepada orang lain. Namun dalam aktualisasinya,banya munculnya perda-perda syariah bermasalah menyangkut tentang praksis keagamaan,merebaknya partai politik berdasarkan agama,sehingga terlihatlah suatu fanatisme yang merebak dalam kehidupan yang artinya tidak jauh dari ketidak menghargai keagaamaan orang selain agama orang tersebut,dalam Negara sendiri penghormatan atas upacara agama juga masih dipertanyakan,dimana dalam kenyataan terjadi ketidakseimbangan penghormatan agama oleh Negara secara adil dalam hal jika terjadinya upacara keagamaan tersebut,cenderungnya penghormatan berlebih pada satu agama mengakibatkan timbulnya kecemburuan social dari agama lain. Dalam hal ini Negara sendiri belum bisa melakukan penerapan suatu keadilan dalam pemelukan,pelaksanaan,penghormatan suatu agama yang seadil-adilnya,dikarenakan adanya sifat ingin saling mendahului dan menguasai dari para pihak-pihak yang berpengaruh terhadap Negara,sehingga pada akhirnya akan memunculkan suatu konflik moral,bathin,hingga etnis yang timbul karena hal tersebut.
Factor utama kemungkinan masih berlanjutnya kebencian dan kekerasan atas agama dikarenakan sebagian masyarakat masih lebih memuliakan agama dibandingkan dengan Tuhan. Dimana setiap agama fungsinya pastinya adalah untuk mendekatkan diri dengan Tuhan,dimana harus dilakukan dengan kesucian hati yang terpancar dari perbuatan kasih sayang. Karena kecenderungan lebih memuliakan agama dibandingkan dengan Tuhan,makalah kebenaran selalu dikotak-kotakkan menurut agama masing-masing,sehingga apabila ada sikap berbeda dari ajaran yang diyakini padahal perbuatan tersebut baik segera dicurigai dan harus disingkirkan,dilawan,kalau perlu dengan tindak kekerasan. Hingga pada akhirnya muncul pertanyaan yang sangat medasar yaitu “Buat apa agama kalau memecah belah antara kita?” komenter tersebut diungkapkan dalam suatu acara mahasiswa Lintas Agama Se-Bali 5-7 agustus 2010. Mengutip sebuah ajaran dasar kasih saying bagi umat Hindu yaitu “Tri Hita Karana” yang mengatakan bahwa harus terjalin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan,dengan Manusia,dan dengan Lingkungan. Maka manusialah yang menjadi titik dari perkembangan keadilan dan keadaban bagi kemajuan manusia serta Negara itu sendiri.
Menurut Emile Durkheim,agama merupakan factor utama dalam masyarakat,dimana agama bukan hanya system gagasan,melainkan juga kekuatan moral. Setiap agama memiliki ruang lingkup yang suci dan kotor,dimana apabila seseorang telah melewati ataupun merusak ruang lingkup tersebut maka akan mendapatkan suatu sanksi. Dimana ditegaskan bahwa agama merupakan kaidah tertinggi didalam masyarakat.
Kalau saja sekarang Negara sedang terpuruk,melihat dari pendapat Emile Durkheim tersebut,maka dapat dikatakan bahwa tidak dijadikannya lagi agama sebagai system pengangan dalam masyarakat yang menuntut masyarakat dalam kebenaran,kebaikan,kejujuran dan kemuliaan. Gagalnya penerapan tersebut biasanya diakibatkan oleh salah tafsirnya pihak-pihak yang ada,sehingga tranformasi nilai-nilai pun gagal diwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar