Sabtu, 16 Maret 2013

Trias Politika

BAB I
PENDAHULUAN
Trias Politica atau pemisahan kekuasaan merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di berbagai belahan dunia. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Konsep ini bertujuan agar semua tugas atau kekuasaan tidak hanya dilimpahkan pada suatu kekuasaan tertinggi di suatu negara, melainkan kekuasaan tersebut dibagi lagi kedalam beberapa lembaga lembaga yang terorganisir dalam sebuah struktur pemisahan kekuasaan. Salah satu yang mendasari pemisahan kekuasaan dalam suatu negara adalah menghindari suatu pihak yang berkuasa untuk menyalahgunakan kekuasaan yang telah diberikan.

TRIAS POLITICA

1.1.          PENGERTIAN TRIAS POLITICA
Pemisahan kekuasaan juga disebut dengan istilah trias politica adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, yang bertujuan mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahugunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
1.2.          SEJARAH TRIAS POLITICA
Doktrin ini pertama kali dikenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie (1689-1755) yang ditafsirkan menjadi “pemisahan kekuasaan”. Pemikiran John Locke mengenai Trias Politica ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Seringkali raja secara sewenang-wenang melakukan akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, tidak mengherankan kalangan bangsawan kadang melakukan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil. Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif, Baron Secondat de Montesquieu atau yang sering disebut Montesqueieu mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut: “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep ini terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
1.3.          KONSEP TRIAS POLITICA
Konsep Trias Politica atau pembagian kekuasaan menjadi tiga pertama kali dikemukakan oleh John Locke dalam karyanya Treatis of Civil Government (1690) dan kemudian oleh Baron Montesquieu dalam karyanya L’esprit des Lois (1748). Konsep ini adalah yang hingga kini masih berjalan di berbagai negara di dunia. Trias Politica memisahkan tiga macam kekuasaan:
1.      Kekuasaan Legislatif tugasnya adalah membuat undang-undang
2.      Kekuasaan Eksekutif tugasnya adalah melaksanakan undang-undang
3.      Kekuasaan Yudikatif tugasnya adalah mengadili pelanggaran undang-undang

1.4.          PEMBAGIAN KONSEP TRIAS POLITICA
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa terdiri dari tigakekuasaan yang dipisah, yakni dua berada di tangan raja atau ratu dan satu berada di tangan kaum bangsawan. Pembagian konsep Trias Politica pemikiran John Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politica di masa kini.Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu. Pembagiankonsep Trias Politica menurut Montesquieu terbagi menjadi tiga kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan yang mengatur dan menetukan peraturan, kekuasaan yang melaksanakan peraturan, dan kekuasaan yang mengawasi peraturan. Adapun pendistribusian dari ketiga macam kekuasaan tersebut diatur oleh badan-badan pemerintahan yang berbeda. Kekuasaan untuk yang mengatur dan menentukan peraturan diberikan kepada badan legislatif, dan kekuasaan yang melaksanakan peraturan diberikan kepada badan eksekutif, serta kekuasaan yang mengawasi peraturan diberikan kepada badan yudikatif.

1.5.          PENGAWASAN TERHADAP  TRIAS POLITICA
Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing-masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolak ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.
1.5.1.      PRINSIP CHECK AND BALANCE
Upaya pengawasan dan keseimbangan antara badan-badan yang mengatur Trias Politica memiliki prinsip-prinsip dengan berbagai macam variasi, misalnya:
a)      The four branches: legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media. Di sini media di gunakan sebagai bagian kekuatan demokrasi keempat karena media memiliki kemampuan kontrol, dan memberikan informasi.
b)      Di Amerika Serikat, tingkat negara bagian menganut Trias Politica sedangkat tingkat negara adalah badan yudikatif.
c)      Di Korea Selatan, dewan lokal tidak boleh intervensid)     Sementara itu, di Indonesia, Trias Politica tidak di tetapkan secara keseluruhan. Legislatif di isi dengan DPR, eksekutif di isi dengan jabatan presiden, dan yudikatif oleh mahkamah konstitusi dan mahkamah agung.

1.5.2.      CONTOH NEGARA YANG MENERAPKAN  CHECK AND BALANCE
Di Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system, dalam hal pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan Eksekutif terhadap Legislatif, Presiden diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang telah diterima olehCongress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut dapat dibatalkan oleh Congressdengan dukungan 2/3 suara dari House of Representative (semacam DPR) dan Senate(semacam lembaga utusan negara bagian).

1.6.          TEORI TEORI DALAM TRIAS POLITICA
Teori teori dalam Trias Politika di dasari dengan teori fungsi legislatif, fungsi eksekutif, fungsi yudikatif baik teori oleh Locke maupun Montesqiueu.
a)   Lembaga Legislatif
Dilihat dari kata Legislate yang bermakna lembaga yang bertugas membuat undang-undang. Namun tidak hanya sebatas membuat undang-undang, melainkan juga merupakan wakil rakyat atau badan parlemen. Pernyataan ini didasari oleh teori kedaulatan rakyat yaitu teori yang bertentangan dengan teori monarki dan absolutisem. Jadi hakikatnya badan legislatif digunakan untuk mencegah terjadinya tindakan sikap absolut dari pemerintah pusat atau presiden. Adapun fungsi dari badan legislatif sebagai berikut:
1.    Question Hour/Pertanyaan Parlemen Anggota legislatif diizinkan mengajukan pertanyaan kepada pemerintahn pusat mengenai hal-hal yang perlu ditanyakan yang jelasnya berkaitan dengan nasib rakyat.
2.    InterpelasiHak anggota legislatif untuk meminta keterangan pada kebijakan pemerintah pusat terutama yang telah dilaksanakan di lapangan.
3.    Engquete/AngketHak untuk anggota legislatif untuk melakukan penyelidikan sendiri dengan cara membentuk panitia penyelidik.
4.    MosiHak kontrol yang memiliki potensi besar untuk menjatuhkan lembaga eksekutif.
b)  Lembaga Eksekutif
Secara umum arti lembaga eksekutif adalah pelaksanaan pemerintah yang dikepalai oleh presiden yang dibantu pejabat, pegawai negeri, baik sipil maupun militer. Sedangkan wewenang menurut Meriam Budiardjo mencangkup beberapa bidang:§  Diplomatik: menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lainnya.§  Administratif: melaksanakan peraturan serta perundang-undangan dalam administrasi negara.§  Militer: mengatur angkatan bersenjata, menjaga keamanan negara dan melakukan perang bila di dalam keadaan yang mendukung.§  Legislatif: membuat undang-undang bersama dewan perwakilan.§  Yudikatif: memberikan grasi dan amnesti.
Tipe Lembaga eksekutif terbagi menjadi dua, yakni:
1.    Hareditary Monarch yakni pemerintahan yang kepala negaranya dipilih berdasarkan keturunan. Contohnya adalah Inggris dengandipilihnya kepala negara dari keluarga kerajaan.
2.    Elected Monarch adalah kepala negara biasanya president yang dipilih oleh badan legislatif ataupun lembaga pemilihan.

Sistem Lembaga Eksekutif terbagi menjadi dua:
1. Sistem Pemerintahan Parlementer : Kepala negara dan kepala pemerintahan terpisah. Kepala pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri, sedangkan kepala negara dipimpin oleh presiden. Tetapi kepala negara disini hanya berfungsi sebagai simbol suatu negara yang berdaulat.
2. Sistem Pemerintahan Presidensial   : Kepala pemerintahan dan kepala negara, keduanya dipegang oleh presiden.
c)  Lembaga Yudikatif
Lembaga ini merupakan lembaga ketiga dari tatanan politik Trias Politica yang berfungsi mengontrol seluruh lembaga negara yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Fungsi Lembaga Yudikatif  adalah sebagai alat penegakan hukum, penyelesaian penyelisihan, hak menguji apakah peraturan hukum sesuai atau tudak dengan UUD dan landasan Pancasila, serta sebagai hak penguji material.

Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka di Indonesia

Aktualisasi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka di Indonesia


Pancasila sebagai ideologi terbuka, sangat mungkin mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang  dihadapi oleh bangsa Indonesia. Namun demikian faktor manusia baik penguasa maupun rakyatnya, sangat menentukan dalam mengukur kemampuan sebuah ideologi dalam menyekesaikan berbagai masalah. Sebaik apapun sebuah ideologi tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang baik, hanyalah utopia atau angan-angan belaka.
Implementasi ideologi Pancasila bersifat fleksibel dan interaktif (bukan doktriner). Hal ini karena ditunjang oleh eksistensi ideologi Pancasila yang  memang semenjak digulirkan oleh para founding fathers (pendiri negara) telah melalui pemikiran-pemikiran yang  mendalam sebagai kristalisasi yang  digali dari nilai-nilai sosial-budaya bangsa Indonesia sendiri. Fleksibelitas ideologi Pancasila, karena mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
1) Nilai Dasar
Merupakan nilai-nilai  dasar yang  relatif tetap (tidak berubah) yang  terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai dasar Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial), akan dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai instrumental dan nilai praxis yang  lebih bersifat fleksibel, dalam bentuk norma-norma yang  berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2) Nilai Instrumental
Merupakan nilai-nilai lebih lanjut dari nilai-nilai dasar yang  dijabarkan secara lebih kreatif dan dinamis dalam bentuk UUD 1945, TAP MPR, dan Peraturan perundang-undangan lainnya.
3) Nilai Praxis
Merupakan nilai-nilai yang  sesungguhnya dilaksanakan dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Nilai praxis yang  abstrak (misalnya : menghormati, kerja sama, kerukunan, dan sebagainya), diwujudkan dalam bentuk sikap, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari. Dengan de mikian nilai-nilai tersebut nampak nyata dan dapat kita rasakan bersama.
Namun dalam kenyataannya Indonesia sangat sulit menerapkan prinsip ideology pancasila tersebut,dimana pancasila sendiri belumlah dipahami secara mendalam sehingga menyulitkan penerapan penggunaan pancasila dalam penyelesaian permasalahan modern ini. Dimulai dengan kegagalan penerapan pancasila dalam orde baru yang menjadikan pancasila sebagai mesin indoktrinasi politik,dimana Pancasila sudah dianggap apak-basi. Dimana kelima sila tersebut dianggap tidak relevan dalam meyelesaiakn permasalahan era ini,tidak dihayati,bahkan banyak yang tidak menghafal atau mengingat Pancasila itu sendiri.
Sebagai contohnya adalah sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimana permaknaan mendalam dari sila pertama tersebut adalah dimana saling menghargainya sesame pemeluk agama yang berbeda,saling menghormati dan tidak saling memaksakan kepercayaan akan Tuhan kita kepada orang lain. Namun dalam aktualisasinya,banya munculnya perda-perda syariah bermasalah menyangkut tentang praksis keagamaan,merebaknya partai politik berdasarkan agama,sehingga terlihatlah suatu fanatisme yang merebak dalam kehidupan yang artinya tidak jauh dari ketidak menghargai keagaamaan orang selain agama orang tersebut,dalam Negara sendiri penghormatan atas upacara agama juga masih dipertanyakan,dimana dalam kenyataan terjadi ketidakseimbangan penghormatan agama oleh Negara secara adil dalam hal jika terjadinya upacara keagamaan tersebut,cenderungnya penghormatan berlebih pada satu agama mengakibatkan timbulnya kecemburuan social dari agama lain. Dalam hal ini Negara sendiri belum bisa melakukan penerapan suatu keadilan dalam pemelukan,pelaksanaan,penghormatan suatu agama yang seadil-adilnya,dikarenakan adanya sifat ingin saling mendahului dan menguasai dari para pihak-pihak yang berpengaruh terhadap Negara,sehingga pada akhirnya akan memunculkan suatu konflik moral,bathin,hingga etnis yang timbul karena hal tersebut.
Factor utama kemungkinan masih berlanjutnya kebencian dan kekerasan atas agama dikarenakan sebagian masyarakat masih lebih memuliakan agama dibandingkan dengan Tuhan. Dimana setiap agama fungsinya pastinya adalah untuk mendekatkan diri dengan Tuhan,dimana harus dilakukan dengan kesucian hati yang terpancar dari perbuatan kasih sayang. Karena kecenderungan lebih memuliakan agama dibandingkan dengan Tuhan,makalah kebenaran selalu dikotak-kotakkan menurut agama masing-masing,sehingga apabila ada sikap berbeda dari ajaran yang diyakini padahal perbuatan tersebut baik segera dicurigai dan harus disingkirkan,dilawan,kalau perlu dengan tindak kekerasan. Hingga pada akhirnya muncul pertanyaan yang sangat medasar yaitu “Buat apa agama kalau memecah belah antara kita?” komenter tersebut diungkapkan dalam suatu acara mahasiswa Lintas Agama Se-Bali 5-7 agustus 2010. Mengutip sebuah ajaran dasar kasih saying bagi umat Hindu yaitu “Tri Hita Karana” yang mengatakan bahwa harus terjalin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan,dengan Manusia,dan dengan Lingkungan. Maka manusialah yang menjadi titik dari perkembangan keadilan dan keadaban bagi kemajuan manusia serta Negara itu sendiri.
Menurut Emile Durkheim,agama merupakan factor utama dalam masyarakat,dimana agama bukan hanya system gagasan,melainkan juga kekuatan moral. Setiap agama memiliki ruang lingkup yang suci dan kotor,dimana apabila seseorang telah melewati ataupun merusak ruang lingkup tersebut maka akan mendapatkan suatu sanksi. Dimana ditegaskan bahwa agama merupakan kaidah tertinggi didalam masyarakat.
Kalau saja sekarang Negara sedang terpuruk,melihat dari pendapat Emile Durkheim tersebut,maka dapat dikatakan bahwa tidak dijadikannya lagi agama sebagai system pengangan dalam masyarakat yang menuntut masyarakat dalam kebenaran,kebaikan,kejujuran dan kemuliaan. Gagalnya penerapan tersebut biasanya diakibatkan oleh salah tafsirnya pihak-pihak yang ada,sehingga tranformasi nilai-nilai pun gagal diwujudkan.

ETIKA POLITIIK



PANCASILA+ETIKA+POLITIK+INDONESIA
PENGERTIAN ETIKA POLITIK

Etika Politik terdiri dari dua kata yaitu Etika dan Politik. Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Sedangkan Politik adalah proses pembagian kekuasaan yang melibatkan interaksi antara pemerintah dan/atau masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat untuk kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Jadi etika politik adalah nilai-nilai azas moral yang disepakati bersama baik pemerintah dan/atau masyarakat untuk dijalankan dalam proses pembagian kekuasaan dan pelaksanaan keputusan yamg mengikat untuk kebaikan bersama.

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK INDONESIA
 
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya. Karena jika dilihat satu persatu dari masing-masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun, makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tak bias ditukarbalikan letak dan susunannya. Untuk memahami dan mendalami nilai nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila.
  • Ketuhanan Yang Maha Esa
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, sang pencipta seluruh alam. YangMaha Esa berarti Maha Tunggal, tidak ada sekutu dalam zat-Nya, sifat- Nya dan perbuatan-Nya. Atas keyakinan demikianlah, maka Negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara memberikan jaminan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya untuk beribadat dan beragama. Bagi semua warga tanpa kecuali tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan. Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2.
  • Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk yang berbudaya dan memiliki potensi pikir, rasa, karsa, dan cipta. Dengan akal nuraninya manusia menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Adil berarti wajar, yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab kata pokoknya adalah adab, sinonim dengan sopan, berbudi luhur dan susila. Beradab artinya berbudi luhur, berkesopanan, dan bersusila. Hakikatnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan …”. Selanjutnya dijabarkan dalam batang tubuh UUD 1945.
  • Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu, artinya utuh tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang berabeka ragam menjadi satu kebulatan. Sila Persatuan Indonesia ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, social budaya, dan hankam. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang berbunyi, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”. Selanjutnya lihat batang tubuh UUD 1945.
  • Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
permusyarawatan/Perwakilan Kata rakyat yang menjadi dasar Kerakyatan, yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah tertentu. Sila ini bermaksud bahwa Indonesia menganut system demokrasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas kekuasaannya ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu, “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat …”. Selanjutnya lihat dalam pokok pasal-pasal UUD 1945.
  • Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan social berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat disegala bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat berarti semua warga Negara Indonesia baik yang tinggal didalam negeri maupun yang di luar negeri. Hakikat keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dinyatakan dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945, yaitu “Dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia … Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Selanjutnya dijabarkan dalam pasalpasal UUD 1945. Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang mana dalam berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia tampa pandang bulu. Nilai-nilai Pancasila tersebut mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbaghai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan di kalangan elit politik yang menjadi momok masyarakat.

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

UNDANG-UNDANG HAK ASASI MANUSIA BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia.
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kuloktif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yangt dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas perbuatan yang dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan itu ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan pejabat publik.
5. Anak adalah setiap yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orangyang dijamin oleh Undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
7. Komisi Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga yang mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negaralainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

Macam-Macam Peradilan Di Indonesia




A. PERDILAN UMUM


            Peradilan Umum merupakan salah satu
lingkungan peradilan, di luar peradilan agama, tata usaha Negara dan peradilan
militer. Pada saat sekarang, selain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang
menjadi landasan yang mengatur susunan dan kekuasaan peradilan umum adalah
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.


            Dalam operasionalnya kekuasaan
kehakiman dilingkungan peradilan umum ini dilaksanakan oleh pengadilan negeri
dan pengadilan umum ini dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negeri tertinggi.


a. Pengadilan Negeri


1. Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum


            Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun
1986, bahwa pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama.


            Tempat kedudukan pengadilan ini
berada di setiap kotamadya atau Ibukota Kabupaten. Dengan berkedudukan pada
Kotamadya atau Ibukota Kabupaten, maka otomatis daerah hukum pengadilan negeri
adalah meliputi wilayah kotamadya atau Kabupaten yang bersangkutan.


2. Kekuasaan Pengadilan


            Tugas pokok dari pengadilan negeri
adalah menerima, memeriksa dan memutus (mengadili) serta menyelesaikan setiap
perkara (perdata dan pidana) yang diajukan atau dilimpahkan. Kekuasaan dan
kewenangan Ketua Pengadilan Negeri dapat bersifat intern dan ekstern.


b. Pengadilan Tinggi


1. Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum


            Pengadilan tinggi berkedudukan di
Ibukota propinsi dengan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi (vide pasal 4
UU Nomor 2 / 1986).


2. Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan
Tinggi


            Menurut pasal 51 ayat (1)
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, pengadilan tinggi bertugas dan berwenang
mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.


B. PERADILAN AGAMA


            Peradilan Agama adalah peradilan
bagi orang-orang yang beragama Islam. Peradilan ini merupakan salah satu
pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989. Demikian bunyi pasal 1 butir dan pasal 2 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989.


a. Pengadilan Agama


1. Tempat Kedudukan dan daerah Hukum


            Ditentukan pasal 4 jo pasal 6
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 bahwa “pengadilan agama merupakan pengadilan
tingkat pertama yang berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten”.


2. Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama


            Titik berat kekuasaan pengadilan
agama adalah sebagaimana dimaksud pasal 49 ayat (1) UU No. 7 atau 1989, yang
menyatakan:


            Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang yang beragama Islam di bidang:


  1. Perkawinan,
  2. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan
    berdasarkan hukum Islam,
  3. Wakaf dan sedekah.


b. Pengadilan Tinggia Agama


1. Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum


            Ada kesamaan tempat kedudukan dan daerah
hukum Pengadilan Tinggi (lingkungan peradilan umum) dengan Pengadilan Tinggi
Agama, yakni di Ibukota propinsi yang daerah hukumnya adalah meliputi wilayah
propinsi yang bersangkutan. Bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha Negara di tingkat pertama.


C. PERADILAN TATA USAHA NEGARA


a. Pengadilan Tata Usaha Negara


           Kedudukan Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah sebagai pengadilan pertama bagi masyarakat pencari keadilan
terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai tempat kedudukan psl 6
Undang-Undang PTUN menyebutkan di kotamadya atau ibukota kabupaten.     


b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara


1. Kedudukan, Tempat Kedudukan dan daerah
Hukum


            Kedudukan Pengadilan Tinggi Usaha
Negara (PT-TUN) adalah sebagai pengadilan tingkat banding bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengleta tata usaha Negara (TUN). Seperti termaktub dalam
pasal 6 ayat (2) UUPTUN ditetapkan PT-TUN berkedudukan di Ibukota propinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.


2. Kekuasaan dan Kewenangan


            PT-TUN sebagai pengadilan tingkat
banding, tentu saja mempunyai kewenangan memberikan dan memutus sengketa TUN di
tingkat banding. Berpijak kepada redaksi pasal 51 UUPTUN dapat disimpulkan minimal
terdapat 3 (tiga) kewenangan dari PT-TUN;


  1. bertugas dan berwenang memriksa dan memeutus sengketa
    tata usaha Negara ditingkat banding;
  2. bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di
    tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan
    TUN di dalam daerah hukumnya;
  3. bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
    menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha Negara sebagaimana di
    maksud dalam pasal 48 UU_PTUN.


D. PERADILAN MILITER


            Peradilan militer merupakan salah
satu pilar kekuasaan kehakiman di samping lingkungan peradilan sebagaimana di
maksud pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970. Keberadaan
peradilan militer merupakan konsekuensi logis adanya status subyek tindak
pidana itu yakni seseorang berstatus militer.





a.      Kekuasaan Peradilan Militer.


Untuk
mengetahui kekuasaan pengadilan di lingkungan peradilan militer perlu kita
teliti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950. Dinyatakan dalam pasal 2 bahwa “kekuasaan
kehakiman dalam peradilan ketentaraan” dilakukan oleh pengadilan ketentaraan,
yaitu;


    1. Pengadilan – Tentara
    2. Pengadilan Tentara Tinggi
    3. Mahkamah Tentara Agung.


Pada
kenyataannya nama pengadilan di lingkungan peradilan militer menggunakan nama
Mahkamah bukan pengadilan seperti termaktub pasal-pasal Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1950.


Nama pengadilan
di lingkungan peradilan militer tersebut adalah:


  1. Mahkamah Militer, lazim di singkat MAMIL;
  2. Mahkamah Militer Tinggi, disingkat MAHMILTI;
  3. Mahkamah Militer Agung, disingkat MAHMILGUNG.


MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA


A. UNDANG-UNDANG NOMOR
14 TAHUN 1985


            Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, mengatur mengenai kedudukan, susunan dan kekuasaan
Mahkamah Agung serta hukum acara yang berlaku bagi Mahkamah Agung.


B. KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN MA


            Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
mengatur dan membedakan kedudukan dan tempat kedudukan dari Mahkamah Agung di
bidang ketatanegaraan, sedangkan tempat kedudukan dimaksudkan sebagi domisili.


            Dinyatakan dalam pasal 11 Ketetapan
MPR Nomor III / MPR / 1978 bahwa:


  1. Mahkamah Agung adalah Badan yang melaksnakan
    kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksana tugasnya, terlepas dari pengaruh
    kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.
  2. Mahkamah Agung dapat memberikan
    pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak,
    kepada lembaga-lembaga tinggi Negara.
  3. Mahkamah Agung dapat memberikan nasihat hukum kepada
    Presiden / Kepala Negara untuk pemberian/penolakan garasi.
  4. Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara
    materiil hanya terhadap peraturan-peraturan perundangan dibawah
    undang-undang.