Aktualisasi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka di Indonesia
Pancasila sebagai ideologi terbuka, sangat mungkin mampu
menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Namun demikian faktor manusia baik penguasa maupun rakyatnya, sangat menentukan
dalam mengukur kemampuan sebuah ideologi dalam menyekesaikan berbagai masalah.
Sebaik apapun sebuah ideologi tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang
baik, hanyalah utopia atau angan-angan belaka.
Implementasi ideologi Pancasila bersifat fleksibel
dan interaktif (bukan doktriner). Hal ini karena ditunjang oleh
eksistensi ideologi Pancasila yang memang semenjak digulirkan oleh para founding
fathers (pendiri negara) telah melalui pemikiran-pemikiran yang
mendalam sebagai kristalisasi yang digali dari nilai-nilai
sosial-budaya bangsa Indonesia sendiri. Fleksibelitas ideologi
Pancasila, karena mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
1) Nilai
Dasar
Merupakan nilai-nilai dasar yang relatif tetap
(tidak berubah) yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai
dasar Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan
Sosial), akan dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai instrumental dan
nilai praxis yang lebih bersifat fleksibel, dalam bentuk
norma-norma yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
2) Nilai
Instrumental
Merupakan nilai-nilai lebih lanjut dari nilai-nilai dasar
yang dijabarkan secara lebih kreatif dan dinamis dalam
bentuk UUD 1945, TAP MPR, dan Peraturan perundang-undangan lainnya.
3) Nilai
Praxis
Merupakan nilai-nilai yang sesungguhnya dilaksanakan
dalam kehidupan nyata sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, maupun bernegara. Nilai praxis yang abstrak (misalnya :
menghormati, kerja sama, kerukunan, dan sebagainya), diwujudkan dalam bentuk
sikap, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari. Dengan de mikian nilai-nilai
tersebut nampak nyata dan dapat kita rasakan bersama.
Namun dalam kenyataannya Indonesia sangat sulit menerapkan
prinsip ideology pancasila tersebut,dimana pancasila sendiri belumlah dipahami
secara mendalam sehingga menyulitkan penerapan penggunaan pancasila dalam
penyelesaian permasalahan modern ini. Dimulai dengan kegagalan penerapan
pancasila dalam orde baru yang menjadikan pancasila sebagai mesin indoktrinasi
politik,dimana Pancasila sudah dianggap apak-basi. Dimana kelima sila tersebut
dianggap tidak relevan dalam meyelesaiakn permasalahan era ini,tidak
dihayati,bahkan banyak yang tidak menghafal atau mengingat Pancasila itu
sendiri.
Sebagai contohnya adalah sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dimana permaknaan mendalam dari sila pertama tersebut
adalah dimana saling menghargainya sesame pemeluk agama yang berbeda,saling
menghormati dan tidak saling memaksakan kepercayaan akan Tuhan kita kepada
orang lain. Namun dalam aktualisasinya,banya munculnya perda-perda syariah
bermasalah menyangkut tentang praksis keagamaan,merebaknya partai politik
berdasarkan agama,sehingga terlihatlah suatu fanatisme yang merebak dalam
kehidupan yang artinya tidak jauh dari ketidak menghargai keagaamaan orang
selain agama orang tersebut,dalam Negara sendiri penghormatan atas upacara
agama juga masih dipertanyakan,dimana dalam kenyataan terjadi ketidakseimbangan
penghormatan agama oleh Negara secara adil dalam hal jika terjadinya upacara
keagamaan tersebut,cenderungnya penghormatan berlebih pada satu agama
mengakibatkan timbulnya kecemburuan social dari agama lain. Dalam hal ini
Negara sendiri belum bisa melakukan penerapan suatu keadilan dalam
pemelukan,pelaksanaan,penghormatan suatu agama yang seadil-adilnya,dikarenakan
adanya sifat ingin saling mendahului dan menguasai dari para pihak-pihak yang
berpengaruh terhadap Negara,sehingga pada akhirnya akan memunculkan suatu
konflik moral,bathin,hingga etnis yang timbul karena hal tersebut.
Factor utama kemungkinan masih berlanjutnya kebencian dan
kekerasan atas agama dikarenakan sebagian masyarakat masih lebih memuliakan
agama dibandingkan dengan Tuhan. Dimana setiap agama fungsinya pastinya adalah
untuk mendekatkan diri dengan Tuhan,dimana harus dilakukan dengan kesucian hati
yang terpancar dari perbuatan kasih sayang. Karena kecenderungan lebih
memuliakan agama dibandingkan dengan Tuhan,makalah kebenaran selalu
dikotak-kotakkan menurut agama masing-masing,sehingga apabila ada sikap berbeda
dari ajaran yang diyakini padahal perbuatan tersebut baik segera dicurigai dan
harus disingkirkan,dilawan,kalau perlu dengan tindak kekerasan. Hingga pada
akhirnya muncul pertanyaan yang sangat medasar yaitu “Buat apa agama kalau
memecah belah antara kita?” komenter tersebut diungkapkan dalam suatu acara
mahasiswa Lintas Agama Se-Bali 5-7 agustus 2010. Mengutip sebuah ajaran dasar
kasih saying bagi umat Hindu yaitu “Tri Hita Karana” yang mengatakan bahwa
harus terjalin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan,dengan Manusia,dan
dengan Lingkungan. Maka manusialah yang menjadi titik dari perkembangan
keadilan dan keadaban bagi kemajuan manusia serta Negara itu sendiri.
Menurut Emile Durkheim,agama merupakan factor utama dalam
masyarakat,dimana agama bukan hanya system gagasan,melainkan juga kekuatan
moral. Setiap agama memiliki ruang lingkup yang suci dan kotor,dimana apabila seseorang
telah melewati ataupun merusak ruang lingkup tersebut maka akan mendapatkan
suatu sanksi. Dimana ditegaskan bahwa agama merupakan kaidah tertinggi didalam
masyarakat.
Kalau saja sekarang Negara sedang terpuruk,melihat dari
pendapat Emile Durkheim tersebut,maka dapat dikatakan bahwa tidak dijadikannya
lagi agama sebagai system pengangan dalam masyarakat yang menuntut masyarakat
dalam kebenaran,kebaikan,kejujuran dan kemuliaan. Gagalnya penerapan tersebut
biasanya diakibatkan oleh salah tafsirnya pihak-pihak yang ada,sehingga
tranformasi nilai-nilai pun gagal diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar